Nikah? Siapa Takut! - Sungguh menikah itu sesuatu yang layak diperjuangkan. Bukan semata untuk menggenapkan tulang rusuk saja. Atau untuk menghiasi jari manis dengan sepasang cincin bertuliskan nama pasangan di belakangnya. Apalagi sebagai ajang unjuk gigi.
Tapi jauh di atas itu, menikah adalah perintah Allah. Satu alasan yang saya pikir cukup untuk dijadikan sebuah alasan. Karena ini perintah Allah, tentu tersimpan banyak kemaslahatan di baliknya. Dan yang saya rasakan, kemaslahatan-kemaslahatan tersembunyi di balik pernikahan sangat sangat banyak. Beneran.
Sepengalaman saya, menikah itu banyak mendatangkan kebaikan. Seolah pintu-pintu “ketidakmungkinan” yang sewaktu masih sendiri banyak terlintas, setelah menikah satu persatu terbuka dengan sendirinya. Dari arah yang tak disangka. Dan seringkali dari arah yang tidak diduga.
Saya menyaksikan dan merasakan sendiri, penggalan ayat “…Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya…” itu benar adanya. Mata, hati, dan tubuh ini menjadi saksi. Bahwa benar, Allah takkan menelantarkan apalagi menyembunyikan apa-apa yang sudah menjadi rezekinya.
Jika rezeki itu berupa materi, sungguh, saya merasakan sendiri bahwa Alhamdulillah hingga saat ini, kebutuhan selalu saja tercukupi. Materi selalu muncul dari pintu yang tak terpikirkan sebelumnya. Kekhawatiran-kekhawatiran yang dahulu menghantui pikiran, seolah kini berbalik menjadi sebuah pertanyaan: Apa benar dulu saya mengkhawatirkan ini sampai sebegitu khawatirnya?
Sekali lagi. Banyak hal yang sebelumnya tak terpikirkan sedikitpun, tiba-tiba Allah buka semua jalan keluar. Bahkan seringkali, membuat saya sendiri menganga. Dari situ saya belajar makna dibalik kata ‘yakin’. Dan saya juga mempelajari bahwa ‘keyakinan’ adalah sesuatu yang sangat berharga.
Sepengalaman saya lagi, menikah juga menarik batas-batas potensi setingkat lebih atas. Saat ‘tak boleh egois’, 'harus menjadi pasangan terbaik’, 'bagaimana makan esok hari?’, 'si kecil layak mendapat orang tua terbaik’ berpadu menjadi satu, seolah tulang-tulang yang sebelumnya terdiam kini jadi bekerja dua kali lipat dengan sendirinya. Entah dari mana juga datangnya energi penggeraknya.
Menikah juga mengajari arti empati, keteladanan, fastabiqul khairat, dan romantisme di level yang lain. Eksperimen-pembelajaran-evaluasi yang dilakukan setiap hari bersama pasangan, sedikit demi sedikit menaikan kapasitas diri, baik sebagai personal maupun sebagai pasangan.
Dan yang pasti, menikah itu menenangkan. Saat kamu tahu bahwa saling berpandangan itu berpahala, berpegang tangan berpahala, dan bercanda bersama pasangan itu berpahala, seger banget dah. Lebih seger dari sirup marjan.
Apalagi saat ada buah hati di sisi. Lebih memahami dan merasakan makna 'unconditional love’ dan kasih sayang orang tua. Kelelahan-kelelahan yang didapat saat mencari sesuap nasi seolah sirna seketika sesaat setelah melihat senyum si kecil. Satu senyuman yang menjadi penetralisir semuanya. Semua emosi-emosi negatif yang sedang bergemul dalam dada.
So, menikah itu layak diperjuangkan. Perjalanan hingga akhirnya sampai di pintu pernikahan jangan dipandang sebelah mata. Serius. Ini bukan tentang harus cepat-cepat menikah atau menunggu keren dulu baru menikah. Ini tentang bagaimana dengan kapasitas yang dipunya, kita merencanakan, mempersiapkan sebaik mungkin, dan memperjuangkan segigih mungkin proses ini hingga akhirnya sampai di pintu pernikahan suatu saat nanti.
Semangat berjuang.
Tapi jauh di atas itu, menikah adalah perintah Allah. Satu alasan yang saya pikir cukup untuk dijadikan sebuah alasan. Karena ini perintah Allah, tentu tersimpan banyak kemaslahatan di baliknya. Dan yang saya rasakan, kemaslahatan-kemaslahatan tersembunyi di balik pernikahan sangat sangat banyak. Beneran.
Sepengalaman saya, menikah itu banyak mendatangkan kebaikan. Seolah pintu-pintu “ketidakmungkinan” yang sewaktu masih sendiri banyak terlintas, setelah menikah satu persatu terbuka dengan sendirinya. Dari arah yang tak disangka. Dan seringkali dari arah yang tidak diduga.
Saya menyaksikan dan merasakan sendiri, penggalan ayat “…Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya…” itu benar adanya. Mata, hati, dan tubuh ini menjadi saksi. Bahwa benar, Allah takkan menelantarkan apalagi menyembunyikan apa-apa yang sudah menjadi rezekinya.
Jika rezeki itu berupa materi, sungguh, saya merasakan sendiri bahwa Alhamdulillah hingga saat ini, kebutuhan selalu saja tercukupi. Materi selalu muncul dari pintu yang tak terpikirkan sebelumnya. Kekhawatiran-kekhawatiran yang dahulu menghantui pikiran, seolah kini berbalik menjadi sebuah pertanyaan: Apa benar dulu saya mengkhawatirkan ini sampai sebegitu khawatirnya?
Sekali lagi. Banyak hal yang sebelumnya tak terpikirkan sedikitpun, tiba-tiba Allah buka semua jalan keluar. Bahkan seringkali, membuat saya sendiri menganga. Dari situ saya belajar makna dibalik kata ‘yakin’. Dan saya juga mempelajari bahwa ‘keyakinan’ adalah sesuatu yang sangat berharga.
Sepengalaman saya lagi, menikah juga menarik batas-batas potensi setingkat lebih atas. Saat ‘tak boleh egois’, 'harus menjadi pasangan terbaik’, 'bagaimana makan esok hari?’, 'si kecil layak mendapat orang tua terbaik’ berpadu menjadi satu, seolah tulang-tulang yang sebelumnya terdiam kini jadi bekerja dua kali lipat dengan sendirinya. Entah dari mana juga datangnya energi penggeraknya.
Menikah juga mengajari arti empati, keteladanan, fastabiqul khairat, dan romantisme di level yang lain. Eksperimen-pembelajaran-evaluasi yang dilakukan setiap hari bersama pasangan, sedikit demi sedikit menaikan kapasitas diri, baik sebagai personal maupun sebagai pasangan.
Dan yang pasti, menikah itu menenangkan. Saat kamu tahu bahwa saling berpandangan itu berpahala, berpegang tangan berpahala, dan bercanda bersama pasangan itu berpahala, seger banget dah. Lebih seger dari sirup marjan.
Apalagi saat ada buah hati di sisi. Lebih memahami dan merasakan makna 'unconditional love’ dan kasih sayang orang tua. Kelelahan-kelelahan yang didapat saat mencari sesuap nasi seolah sirna seketika sesaat setelah melihat senyum si kecil. Satu senyuman yang menjadi penetralisir semuanya. Semua emosi-emosi negatif yang sedang bergemul dalam dada.
So, menikah itu layak diperjuangkan. Perjalanan hingga akhirnya sampai di pintu pernikahan jangan dipandang sebelah mata. Serius. Ini bukan tentang harus cepat-cepat menikah atau menunggu keren dulu baru menikah. Ini tentang bagaimana dengan kapasitas yang dipunya, kita merencanakan, mempersiapkan sebaik mungkin, dan memperjuangkan segigih mungkin proses ini hingga akhirnya sampai di pintu pernikahan suatu saat nanti.
Semangat berjuang.
(by Zaky Amirullah)